Peneliti Matahari dan Antariksa LAPAN
Alhamdulillah, diseminasi Pengetahuan Sampah dan Benda Jatuh Antariksa tahun kedua telah terselenggara kemarin 4 Juni 2015 di Pusat Sains Antariksa, Bandung. Pada kegiatan tersebut saya ditugaskan sebagai salah satu narasumber dengan materi terkait prinsip pengamatan optik dan analisis astrometri yang dilakukan di LAPAN.
Kali ini saya ingin berbagi sebuah tulisan populer yang saya buat berjudul Pengamatan sampah antariksa yang akan jatuh pada jendela optik dan telah dimuat di Media Dirgantara LAPAN. Semoga bermanfaat.
Informasi tentang satelit dan bekas roket yang akan jatuh penting diketahui. Walaupun pada umumnya resikonya rendah, kejadian ini seringkali menarik perhatian masyarakat dan terkait dengan urusan luar negeri. Pengetahuan tentang karakteristik benda antariksa yang akan jatuh juga dapat dimanfaatkan untuk studi kerapatan dan rotasi atmosfer bumi.
Pengamatan optik bisa dilakukan untuk memperkirakan bentuk dan gerak benda antariksa buatan termasuk satelit dan bekas roket. Orbit benda buatan dapat diketahui dengan peralatan yang cukup sederhana seperti binokuler atau kamera (disarankan DSLR), stopwatch, dan peta bintang. Perangkat lunak untuk reduksi data dan untuk membuat TLE (two-line elements) benda bersangkutan tersedia secara bebas di internet. Namun, satu hal yang perlu diingat adalah pengamatan satelit di orbit rendah yang sifatnya hanya memantulkan cahaya matahari hanya bisa dilakukan jika satelit tersebut cukup besar dan teriluminasi cahaya matahari dengan latar belakang langit yang gelap. Biasanya pengamatan dilakukan sekitar 45 menit setelah matahari terbenam dan 45 menit sebelum matahari terbit ketika langit cerah. Dengan diketahuinya TLE suatu benda maka bisa diprediksi kapan benda tersebut akan melintas lagi di atas suatu tempat.
Teknik pengukuran memakai binokuler pada dasarnya mencatat waktu saat satelit berada pada jarak terdekatnya dengan sebuah bintang referensi dan memenuhi konfigurasi geometris tertentu dengan bintang referensi lainnya. Konfigurasi geometris yang mungkin digunakan adalah 1) satelit berada di garis yang menghubungkan antara dua bintang referensi; 2) satelit membentuk segitiga siku-siku dengan dua bintang referensi; dan 3) satelit berada sangat dekat dengan sebuah bintang referensi. Adapun teknik pengukuran memakai kamera pada dasarnya adalah menemukan konfigurasi-konfigurasi geometris antara satelit dengan dua atau tiga bintang referensi yang berada di dekatnya. Tiga bintang referensi seharusnya memberikan hasil yang lebih akurat.
Pengukuran jarak antara satelit dan bintang referensi atau sesama bintang referensi saat pengamatan berlangsung harus dapat dilakukan dengan akurat agar nantinya diperoleh koordinat satelit saat pengamatan yang juga akurat. Pada pengamatan dengan binokuler, pengukuran dilakukan saat pengamatan berlangsung sehingga kepiawaian pengamat sangat dibutuhkan. Akurasi stopwatch dan keahlian memakainya juga menjadi syarat mutlak. Lain halnya dengan pengamatan dengan kamera yang pengukurannya bisa dilakukan setelah pengamatan (tentu saja karena citra dengan kamera bisa dengan mudah direkam) dan tidak membutuhkan stopwatch tapi cukup dengan informasi waktu yang akurat. Jika pengukuran pada pengamatan dengan binokuler hanya mengandalkan pada penglihatan mata, pengukuran pada pengamatan dengan kamera bisa memakai mistar berakurasi tinggi (calipers) atau dengan mengetahui koordinat pixel di posisi satelit dan bintang-bintang referensi.
Data hasil pengamatan memakai binokuler atau kamera yang berupa posisi satelit relatif terhadap bintang-bintang latar belakang dapat diolah dengan perangkat lunak tertentu sehingga diperoleh koordinat posisi satelit secara akurat. Dua atau tiga pengamatan dalam sekali passing dan dalam jarak dekat dapat diolah untuk menghasilkan sebuah data TLE (TLE awal). Pengamatan-pengamatan berikutnya dapat digunakan untuk menyempurnakan orbit sehingga diperoleh TLE akhir yang dianggap merepresentasikan orbit sebenarnya. Orbit berbentuk hampir lingkaran lebih mudah direproduksi dibanding orbit lonjong sehingga akan membutuhkan titik pengamatan yang lebih sedikit.
Perkiraan bentuk dan gerak benda dapat diketahui melalui analisis kurva cahaya. Sebagai contoh, dari analisis kurva cahaya bekas roket Cosmos 2082 dapat diperoleh model tri-axial ellipsoidal benda tersebut. “Metode amplitudo” yang digunakan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengekstrak informasi benda dari kurva cahayanya. Dengan teknik ini, dapat diketahui arah sumbu putar dan bentuk benda melalui perbedaan amplitudo kurva-kurva cahaya yang diperoleh. Selanjutnya, dari perubahan periodik pada kecerlangannya, dapat diduga bahwa benda bersangkutan berbentuk lonjong dan berotasi. Dapat juga diperoleh informasi yang mencakup perbandingan sumbu-sumbu model tri-axial ellipsoid benda, arah sumbu rotasi, periode rotasi, sebuah parameter terkait komposisi benda, dan parameter presesi dari banyak pengamatan untuk suatu benda.
Kemampuan mengamati satelit dengan instrumen sendiri sangat penting dikembangkan. Dari sekitar 3800 payload (mencakup satelit yang berfungsi maupun yang telah menjadi sampah) yang mengorbit saat ini, 7% di antaranya tidak tersedia data orbitnya secara resmi sehingga analisis orbit tidak bisa dilakukan. Walaupun terkadang data tersebut bisa diperoleh dari jaringan pengamat amatir, kemampuan untuk mengamati sendiri (bahkan mampu membuat elemen orbitnya) sangat penting dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa. Selain itu, seringkali informasi karakteristik orbit dan fisik tidak lengkap tersedia di dunia maya sekalipun data orbitnya diperoleh. Semua ini menjadi kendala dan sekaligus tantangan dalam proses analisis pemantauan benda jatuh antariksa yang lebih akurat.
Artikel lain di blog ini:
No comments:
Post a Comment