Peneliti Matahari dan Antariksa LAPAN
(tulisan ini sebelumnya dimuat, dengan modifikasi, di Buletin Cuaca Antariksa Vol 2/No.2 Apr-Jun 2013)
Benda jatuh antariksa bisa dikategorikan ke dalam dua jenis: alami dan buatan. Benda jatuh alami disebut meteoroid. Meteoroid bisa berupa asteroid atau pecahannya atau debu-debu dari komet yang melintas dekat Matahari. Jika meteoroid jatuh dalam jumlah banyak maka terjadilah hujan meteor. Meteoroid yang sampai ke permukaan Bumi karena tidak habis terbakar di atmosfer disebut meteorit. Adapun benda jatuh buatan bisa berupa satelit, bekas roket, atau pecahan satelit atau roket.
Benda antariksa yang jatuh bisa mengakibatkan kerusakan. Untuk benda jatuh alami potensi kerusakannya terkait dengan efek tumbukan dengan atmosfer dan/atau permukaan Bumi sedang untuk benda buatan terkait dengan efek tumbukannya dengan permukaan Bumi dan kandungan berbahaya yang mungkin dikandungnya misalnya radiasi nuklir. Mengingat potensi kerusakan yang mungkin ditimbulkannya, benda-benda buatan berukuran sangat besar biasanya dikendalikan kejatuhannya seperti MIR yang jatuh pada 2001.
Walau sejauh ini diyakini bahwa meteoroid tidak mengandung potensi kerusakan dari kandungan materialnya namun potensi kerusakan akibat tumbukannya bisa jadi sangat besar. Meteoroid yang meledak di atas kota Chelyabinsk Rusia pada 15 Februari 2013 melepaskan energi ledakan yang puluhan kali lebih kuat dibanding ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945. Sayang sekali baru negara-negara maju yang bisa memantau meteoroid secara rutin. Itu pun hanya yang berukuran besar di atas ratusan kilometer.
Kenapa lebih sulit memantau benda jatuh alami daripada buatan? Faktor utamanya adalah walau asteroid berukuran kecil (diameter di bawah 100 meter) jumlahnya sangat banyak di sekitar Bumi tapi sangat redup. Hanya dalam jarak yang sudah sangat dekat dengan Bumi barulah benda ini bisa teramati. Kecepatannya yang sangat tinggi (mencapai puluhan km/s) tidak memberikan banyak waktu untuk mengantisipasinya. Adapun benda buatan yang berukuran cukup besar (di atas 10 cm) dapat diamati dengan cukup baik bahkan bisa dibuat katalog orbitnya sehingga bisa diprediksi waktu jatuhnya.
LAPAN telah lebih dari 10 tahun memantau benda jatuh buatan secara rutin meskipun masih menggunakan data hasil pengamatan pihak lain. Pemantauan ini dilakukan dengan memanfaatkan data orbit satelit yang saat ini dipublikasikan oleh USSPACECOM (bagian dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat) di situs web Space-Track yang beralamat di www.space-track.org. Situs web inilah yang diakui memiliki katalog benda buatan terlengkap di dunia. Namun, tidak semua data yang dimiliki Space-Track bisa diakses oleh pihak luar. Diantaranya adalah data satelit mata-mata milik Amerika Serikat. Keterbatasan ini menjadi kendala utama pemantauan benda jatuh di LAPAN kendati kadangkala jaringan pengamat satelit amatir mempublikasikan data orbit satelit mata-mata hasil pengamatan mereka.
Kendala lain yang dialami dalam pemantauan benda jatuh terkait dengan dinamika cuaca antariksa. Gerak benda dalam atmosfer dipengaruhi oleh kerapatan atmosfer tersebut. Benda akan mengalami penurunan ketinggian yang sebanding dengan besar kerapatan atmosfer yang dialaminya. Semakin rendah ketinggiannya semakin dominan hambatan atmosfer mempengaruhi gerak benda dibanding gaya-gaya pengganggu lainnya. Masalahnya adalah kerapatan atmosfer sangat sulit dimodelkan karena banyaknya faktor yang harus diperhitungkan di antaranya pengaruh aktivitas Matahari seperti flare dan CME. Kedua peristiwa ini mampu meningkatkan kerapatan atmosfer secara signifikan sehingga mempercepat jatuhnya benda.
Pada tahun 2009 Pusat Sains Antariksa LAPAN mengembangkan perangkat lunak pemantau benda jatuh antariksa yang kemudian menjadi bagian dari sistem informasi dan diseminasi benda jatuh antariksa yang dikembangkan pada 2010. Perangkat bernama Track-it ini sekarang mampu secara otomatis menampilkan lintasan benda-benda buatan yang ada dalam katalog USSPACECOM ketika melewati wilayah Indonesia dengan ketinggian kurang dari 200 km sejak satu jam sebelumnya hingga satu jam berikutnya. Pada umumnya benda yang menjelang jatuh (decaying objects) jika ketinggiannya telah kurang dari 200 km maka ia akan jatuh dalam waktu kurang dari 2 hari. Ketinggian 122 km biasa dianggap sebagai ketinggian kritis benda jatuh antariksa. Benda yang mencapai ketinggian kurang dari ketinggian kritis ini biasanya sudah dinyatakan jatuh (mengalami atmospheric reentry) kendati lokasi jatuhnya di permukaan Bumi belum bisa diketahui.
Sistem informasi dan diseminasi benda jatuh antariksa yang dikembangkan LAPAN pada 2010 secara otomatis menampilkan report Track-it di situs web pemantauan benda jatuh LAPAN yang diperbarui setiap menit. Situs web yang beralamat di http://orbit.dirgantara-lapan.or.id ini memungkinkan masyarakat melihat daerah yang dilintasi benda sejak sejam sebelumnya hingga sejam berikutnya. Dengan demikian masyarakat bisa mengetahui identitas benda yang baru saja jatuh atau akan jatuh di wilayah Indonesia.
Selain pemantauan otomatis yang dilakukannya, Track-it juga telah beberapa kali digunakan untuk membantu analisis dalam pemantauan benda jatuh antariksa. Analisis ini dilakukan jika benda yang akan jatuh berukuran sangat besar. Apalagi jika benda bersangkutan memiliki kemiringan orbit yang kecil sehingga berpotensi besar untuk jatuh di sekitar ekuator. Track-it diantaranya digunakan pada pemantauan UARS dan ROSAT tahun 2011, Phobos-Grunt tahun 2012, dan bekas roket Ariane 44L pada Februari 2013.
Kendati memprediksi waktu jatuh benda antariksa sangat sulit, pada umumnya sehari sebelum benda jatuh telah dapat diprediksi wilayah mana yang akan aman dari kejatuhan benda tersebut. Sebagai contoh, sehari sebelum UARS, ROSAT, dan Ariane 44L jatuh, LAPAN telah memprediksi bahwa Indonesia akan aman dari kejatuhan ketiga benda tersebut. Akan tetapi untuk kasus Phobos-Grunt, 4 jam menjelang benda tersebut jatuh baru dapat diprediksi bahwa Indonesia akan aman.
No comments:
Post a Comment